Senin, 14 Mei 2012

Budaya Kita


Menerapkan budaya cara kerja dan lingkungan kerja di suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya, memang tidak semudah ' membalikkan telapak tangan '. Jangankan menerapkan, untuk mulai meniru hal 'positif' saja tidak mudah. Ada anggapan bahwa meniru bukanlah hal baik dan tidak inovatif, dan ada kesan menjiplak budaya lain. 

Ok-lah kita akan membuat budaya baru di tempat kita bekerja. Atas dasar apa kita akan menerapkannya ? Berdasarkan survey kebiasaan cara kerja kita ? berdasarkan masukan rekan-rekan kerja kita ? berdasarkan "try and error" alias coba-coba ? atau berdasarkan apa ?

Seringkali kali kita dibuat sempit sendiri pemikiran kita. Tidak mau simple dan membumi. Tidak mau mencoba untuk berubah dulu untuk hal yang baik. Kita malah cenderung 'terhenti' pada sebuah wacana-wacana, yang pada akhirnya berujung 'dead-lock', tidak ada yang dihasilkan, tidak ada yang berjalan dan parahnya lagi kita kembali ke budaya 'impor' yang secara sengaja maupun tidak sengaja ternyata kita juga menirunya. Kalu hal baik yang ditiru tak masalah, tapi seringkali kita masih salah juga untuk 'meniru'.

Menurut saya, tak salahnya kita untuk meniru hal-hal yang bersifat positif dan sesuai dengan karakter budaya timur kita yang tidak kalah dengan budaya bangsa lain.  Ambil, Tiru dan bila perlu kita modifikasi sesuaikan dengan jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya tinggi.

Hal yang mungkin kita anggap 'enteng' adalah disiplin. Disiplin waktu dan disiplin bersikap. Disiplin waktu kita coba untuk selalu konsisten tepat waktu saat hadir dalam kerja, janjian untuk meeting dan penyerahan target kerja kita yang sudah tercapai. Disiplin dalam bersikap kita coba untuk membuang sampah pada tempatnya, sekecil apapun sampah yang kita buang tidak pada tempatnya lambat laun akan menjadi kebiasaan buruk untuk selalu membuang sampah sembarangan. Disiplin sikap juga saat kita antri untuk absensi dan meminta maaf jika kita melakukan kesalahan sekecil apapun. 

Semua itu bisa kita terapkan, manakala dijalankan dengan 'hati' dan niat/kemauan yang 'tinggi'. Saya hanya bisa berharap dan bergerak untuk memulai dari diri saya dulu, untuk disiplin waktu dan disiplin dalam bersikap. Mudah-mudahan niat dan  kemauan baik ini mendapat respon & respect yang positif dari saya sendiri dan orang-orang di sekitar saya...semoga.

Kamis, 22 September 2011

Mencoba Untuk BISA

 


Saya yakin diantara kita pernah merasakan sakit hati, dikecewakan oleh "oknum" dalam sebuah perusahaan. Tentunya bermacam-macam masalahnya, dari yang berselisih dengan teman sejawat, ketidakpuasan dengan aturan yang dibuat oleh perusahaan, target kerja yang tidak kunjung tercapai sesuai yang ditargetkan, dan sebagainya. 

Saya yakin pula, bahwa diantara kita sudah sering membaca teori-teori dalam berbagai buku manajemen atau apalah istilahnya, yang dengan panjang lebar menjelaskan kiat-kiat mengatasi permasalahan di tempat kerja. Termasuk kisah-kisah inspirasi yang sering kita baca atau dengar dari berbagai sumber, yang saat itu kita bisa langsung paham dan mengena sekali.

Sepertinya kita lebih banyak terkesima dengan teori-teori atau kisah-kisah inspiratif yang dalam beberapa saat kita bisa kembali "pulih" untuk bangkit lagi dari keterpurukan "semangat" yang seringkali mengendor. Kita mungkin tidak pernah mencoba merasakan sendiri, teori-teori itu dibuat berdasarkan pengalaman seseorang. Mengapa bukan dari kita sendiri yang notabene lebih tau siapa diri kita.
Bagaimana mungkin kita bisa terinspirasi secara mendalam hanya dengan membaca. Bagaimana mungkin kita bisa menyelesaikan permasalahan kita hanya duduk termenung di kantor & sering berlanjut di rumah?. Sudah saatnya kita mengolah sendiri "resep masakan" kita. Kita harus "bergerak" memperbaiki diri. Apa yang salah dalam diri kita. "Knowledge" kita...? Skill kita...? atau "Sikap" kita sendiri...?

Pernah merasakan betapa sulitnya belajar naik sepeda?Bagi yang sudah pernah merasakan, mungkin itu yang bisa kita bayangkan, untuk bisa mencoba "sesuatu", termasuk mengatasi permasalahan yang ada di dalamnya.

Mulailah mencoba dengan "dipaksa", setelah dipaksa kita akan merasa "terpaksa" untuk melakukan apa yang akan kita coba. Selanjutnya akan jadi "terbiasa" dan lama-lama kita Insya Alloh "BISA"....
Itu semua tentunya membutuhkan waktu. Percayalah bahwa Alloh bisa membantu kita, jika kita ada niat untuk berubah.






Rabu, 07 September 2011

Kekalahan Telak


Kekalahan telak telah menimpa timnas sepakbola kita, meski hanya kalah 2 : 0 dari timnas Bahrain, tetapi kekalahan itu sangat menyesakkan. Bagaimana tidak, selain gawang timnas kita kebobolan 2 kali, ulah penonton yang kurang sportif juga ikut memperburuk citra persepakbolaan kita, yang notabene mengagung-agungkan "fair-play". Menyalakan petasan yang jelas-jelas oleh panitia sebenarnya juga sudah dilarang. Bukan sekedar itu juga, sebagai orang timur tak sepatutnya mengesampingkan kehadiran Bapak Presiden Kita "SBY" yang ikut menyaksikan pertandingan tersebut. Sudah sepantasnya kita hormati kehadiran beliau atas perhatiannya kepada timnas kita.

Pengamatan saya, sebenarnya permainan timnas Bahrain juga tidak bagus-bagus amat, biasa-biasa saja. Mungkin karena "performance" timnas kita saat iut masih di bawah standar yang kita harapkan, tak sebagus dan seindah saat piala AFC. Sebenarnya saya juga tidak banyak menuntut terlalu berlebihan. Saya berusaha untuk memahami kondisi timnas kita yang sehari sebelumnya baru kembali dari lawatannya ke Iran.Faktor kelelahan bisa jadi ikut andil. Tak hanya itu, pembentukan timnas yang masih hangat-hangatnya setelah kepengurusan PSSI yang baru dengan pelatih yang baru pula mungkin bisa pula sedikit banyak mempengaruhinya.

Terlepas dari itu semua, kita sangat mengharapkan perbaikan yang lebih serius, jika ingin lolos ke Piala Dunia 2014. Perjalanan memang masih panjang, tapi bukan berarti kita "tenang-tenang" saja. Masih ada sisa 4 kali pertandingan lagi, 2 kali kandang (melawan Iran & Qatar) dan 2 kali tandang ke Qatar & Bahrain.Kemampuan & Kemauan kita untuk menang dengan "fair-play" sangat kita harapkan. Bukan sekedar skill, strategi, teamwork & keberuntungan.Dalam kondisi terjepit, biasanya kita bisa melakukan apa saja, asal itu dilakukan dengan cara yang baik & benar.

Bravo Indonesiaku....

Lupa Kenangan Indah Ramadhan


Ramadhan bulan suci yang semestinya menjadi kenangan indah, kini hilang jejaknya. Kenangan indah saat kita lebih dekat dengan Alloh. Bisa merasakan lapar dan haus sebagaimana lapar & hausnya fakir miskin dan orang-orang terlantar di sekitar kita.

Saya ikut merasakan betapa sedihnya melihat di sekitar kita, jejak-jejak selama ramadhan kurang membekas sama sekali. Bulan yang seharusnya mendidik kita mejadi pribadi yang lebih baik, nyatanya pribadi kita belum juga membaik, bahkan mungkin lebih buruk dari sebelumnya. Seolah-olah ramadhan menjadi penjara yang memaksakan kita untuk terkekang dalam segala hal. Dan saatnya kini banyak yang beranggapan telah bebas & "balas dendam" dengan melakukan apapun yang mereka sukai. 

Mari kita benahi diri...jangan lupakan kenangan indah saat kita dekat dengan Alloh...Kita dekat Alloh dekat..Kita jauh Alloh juga jauh...

Jumat, 08 Juli 2011

Guru Kehidupan


Guru kehidupan tidak harus orang yang membagikan ilmu di depan kelas atau memberi suri tauladan. Guru kehidupan juga bisa orang yang menghina dan merendahkan kita. Keluarga kami punya seorang guru kehidupan. Ia (dulunya) orang  kaya di kampung kami.

Bagaimana ia menjadi guru kehidupan kami? Akan saya ceritakan disini…
Tahun 1987 saya mendapat undangan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) tanpa tes. Di dalam surat undangan itu disebutkan salah satu persyaratannya adalah membawa uang pendaftaran sebesar Rp 150.000. Bapak saya lalu mengajak saya ke rumah orang kaya di kampung untuk meminjam uang.

Setelah ngobrol berbagai hal sampailah ke pokok pembicaraan. Bapak saya membukanya dengan mengatakan, “Alhamdulillah pak, Jamil diterima kuliah di IPB, ini surat undangannya. Dalam surat undangan ini Jamil harus membawa uang seratus lima puluh ribu, tolong pinjami kami uang tiga ratus ribu.”

Tanpa diduga orang yang kaya di kampung saya tersebut berdiri. Kata-kata ejekan, hinaan dan kotor keluar dari mulutnya. Ia menghina bapak saya. Mendengar bapak saya dihina dan dicaci saya hanya menangis. Ketika saya sedang menangis, tiba-tiba bapak saya memukul meja kemudian berdiri sambil berkata keras, “Bapak jangan sombong, jangan mentang-mentang kaya, menghina orang seenaknya. Saya memang miskin di sini, tapi perlu bapak ketahui, tanah saya masih luas. Permisi!”

Kami pun pulang dengan berboncengan naik sepeda. Di tengah perjalanan saya bertanya, “Tadi bapak bilang tanah kita luas, tanah yang mana?” Dengan tetap mengayuh sepeda bapak saya menjawab, “Itu pulau Jawa.” Mendengar jawaban itu, saya pukul-pukul punggung bapak saya sambil berkata, “Kenapa bapak bohong, saya gak suka bapak bohong, saya gak suka. Dulu bapak pernah memukul saya karena saya berbohong, tapi kenapa hari ini bapak bohong?”

Bapak saya menghentikan genjotan sepedanya dan turun dari sepeda kemudian memeluk saya. Sambil memeluk erat-erat beliau berkata, “Mil, baru kali ini bapak dihina di depan anak bapak. Bapak malu, mil. Bapak harus menjaga harga diri keluarga. Kamu harus jadi Insinyur Pertanian, mil.” Pelukan itu adalah pelukan bapak yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup saya.

Belasan tahun berlalu, suatu saat saya kembali ke kampung. Saya diajak ke kebun karet milik bapak. Sesampainya di kebun, bapak menunjuk seseorang sambil berkata, “Masih ingat orang itu?” Tentu saya mengenalinya, karena orang itu adalah yang orang menghina kami belasan tahun yang lalu. Kata bapak saya, “Itulah guru kehidupan kita, tanpa dia kamu tidak akan jadi Insinyur Pertanian. Jadi, walaupun dia sekarang buruh bapak, kamu tidak boleh menghinanya.”

Ya, guru kehidupan itu telah jatuh miskin akibat berbagai problema kehidupan yang dihadapinya. Namun demikian, sampai kapanpun kami tetap menghormatinya. Karena dialah guru kehidupan kami.



Sumber : jamilazzaini